Selamat datang di website saya. Saya dr. Febrian, atau kadang dipanggil dr. Brian. Saya alumni SMA Kanisius, S1 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dan pada usia 28 tahun lulus menjadi dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Sp.K.F.R.) atau dulunya disebut Spesialis Rehabilitasi Medik (disingkat Rehab Medik di tempat yang sama (FKUI).
Haha. Entah sudah berapa kali saya mendapat pertanyaan ini, tapi tak apa, saya paham karena jurusan ini tidak sepopuler spesialis lain, jadi saya tidak akan lelah untuk terus mencoba menjelaskannya. Ada yang mengira spesialis pasien kecanduan narkoba, ada yang mengira spesialis yang mengurusi dokumen rekam medis (karena namanya mirip dengan rehab medik), ada yang mengira psikiater (karena nama lain Sp.K.F.R. adalah physiatrist, diterjemahkan menjadi fisiatris, meskipun jarang yang menggunakan nama ini), dan ada juga yang mengira sama dengan fisioterapis. Jadi sebenarnya Sp.K.F.R. itu mengerjakan apa ya?
Menurut American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation (AAPM&R), Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi atau Physical Medicine and Rehabilitation (PM&R) adalah suatu spesialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan dan memulihkan kemampuan fungsional serta kualitas hidup orang-orang dengan keterbatasan fisik atau disabilitas yang mengenai otak, sumsum tulang belakang, saraf, tulang, sendi, ligamen, otot, dan tendon.
Masih bingung? Haha. Wajar kok. Saya saja butuh waktu untuk memahami sebenarnya spesialis apa ini sebelum saya masuk residensi (sekolahnya dokter spesialis). Jadi begini. Hal yang mungkin membuat banyak orang bingung adalah karena spesialis ini tidak mengurusi satu sistem organ saja. Misalnya dokter saraf, sudah jelas ahli dalam penyakit saraf, atau dokter bedah tulang (orthopedi), sudah jelas ahli dalam panyakit tulang, sendi, dan otot, lalu Sp.K.F.R.?
Spesialis ini fokus pada pemulihan fungsi fisik sistem tubuh, misalnya berdiri, berjalan, berlari, makan, memakai dan melepas baju, memasak, menyetir, dan sebagainya. Nah, Sp.K.F.R. akan menganalisis keterbatasan fisik apa yang menghalangi fungsi sistem tubuh ini, misalnya nyeri pada lutut sehingga sulit berjalan jauh, atau nyeri bahu sehingga sulit membuka baju, atau otot kaki yang lemah sehingga sulit jongkok di toilet, atau mungkin sendi yang tidak stabil sehingga tidak nyaman saat berlari. Selanjutnya, Sp.K.F.R. akan membuatkan program terapi untuk mengatasi keluhan ini agar Bapak/Ibu bisa kembali sedekat mungkin dengan aktivitas yang bisa dilakukan sebelumnya tanpa keterbatasan fisik tersebut.
Terkadang Sp.K.F.R. juga menggunakan alat bantu ultrasonografi (USG) untuk membantu melihat gangguan struktur pada otot, sendi, atau saraf, serta sebagai alat bantu untuk melakukan injeksi secara akurat (USG-guided injection). Bahkan, ada beberapa Sp.K.F.R. yang mengkhususkan diri di bidang tumbuh kembang anak karena hal tersebut juga merupakan bagian dari fungsi penting pada anak, atau di bidang rehabilitasi kardiorespirasi untuk kasus pemulihan penyakit jantung dan paru tanpa atau pasca operasi.
Singkatnya, fokus kami bukan pada satu organ saja, melainkan mengatasi seluruh keterbatasan fisik yang menghalangi Bapak/Ibu melakukan aktivitas secara normal. Memang, karena sebagian besar keluhan pasien adalah nyeri, kesannya banyak dari kami yang menjadi spesialis nyeri, padahal sebenarnya kasus lain seperti pemulihan pasca operasi sendi atau gangguan fungsi akibat stroke (menelan, komunikasi, berjalan) juga merupakan bagian dari tugas kami.
Di luar penjelasan tentang Sp.K.F.R., sesungguhnya pertanyaan ini tidak bisa saya jawab secara lengkap karena yang kompeten untuk menjelaskan mengenai profesi fisioterapis tentunya adalah fisioterapis sendiri. Ada beberapa website yang mencoba untuk menguraikan perbedaannya
(contohnya : https://www.perbedaan.co.id/perbedaan-dokter-rehab-medik-dan-fisioterapi/).
Namun, selain dari hal-hal yang bersifat pasti seperti jalur pendidikan dan wewenang meresepkan obat, hal lain yang bersifat filosofis dan mendasar tentang keilmuan fisioterapi lebih baik dijelaskan oleh fisioterapis sendiri dan tidak langsung ditelan mentah-mentah dari internet agar penjelasan yang diterima lebih valid dan akurat.
Pada praktiknya, kami memang sering bekerja bersama dengan fisioterapis karena di dalam program rehabilitasi banyak digunakan alat terapi fisik, contohnya ultrasound atau diatermi, sehingga seringkali pasien (atau bahkan tenaga medis lain) bingung membedakannya. Namun, di dalam tim rehabilitasi sebenarnya juga ada profesi lain yang kadang terlupakan, contohnya perawat rehabilitasi yang ahli dalam merawat pasien dengan disabilitas dan penyakit kronik, terapis wicara yang ahli melatih fungsi bicara dan menelan, okupasi terapis yang ahli melatih kemandirian melakukan aktivitas sehari-hari, serta orthotik-prostetik yang ahli membuat alat bantu seperti brace atau kaki palsu.
Di beberapa tempat seperti RS Fatmawati bahkan juga ada psikolog untuk mendampingi kondisi psikis pasien selama proses rehabilitasi dan petugas sosial untuk membantu mengintegrasikan pasien dengan disabilitas kembali pada komunitas. Nah, tugas Sp.K.F.R. adalah mengoordinasikan para ahli profesi tersebut agar program rehabilitasi berjalan selaras dan berkesinambungan.
Karena filosofi spesialis ini tidak berfokus pada satu sistem organ, tidak bisa dipungkiri beberapa kasus yang kami tangani akan beririsan dengan profesi lain seperti spesialis saraf, spesialis bedah saraf, spesialis orthopedi, spesialis kedokteran olahraga, spesialis anak, spesialis jantung, dan tentunya dengan fisioterapis. Tim rehabilitasi yang ideal berisi berbagai ahli profesi yang akan saling berkolaborasi untuk menangani pasien secara komprehensif. Pendapat saya pribadi, sangat disayangkan jika ada perselisihan antar profesi hanya karena masalah titel dan kemiripan kasus yang ditangani.
Prinsip saya:
our pride and ego will not bring better treatment. Saya percaya bahwa ilmu itu luas dan dapat dikuasai siapapun yang punya niat dan usaha untuk terus belajar hingga kompeten di bidangnya.
Setiap profesi memiliki filosofinya masing-masing. Asalkan kompeten dan memberikan manfaat positif bagi pasien, bukankah itu hal yang sebenarnya paling penting? Untuk pasien, yang terpenting adalah sembuh, terlepas dari apapun gelar ahli yang mengobatinya.
Bukankah justru lebih menyenangkan bisa bertukar pikiran dengan berbagai profesi untuk satu kasus yang sama? Tapi tentu, ini hanya merupakan pendapat pribadi saya ya, karena saya percaya tidak ada satupun ilmu tunggal yang bisa mengatasi semua keluhan pasien. Selalu ada hal yang bisa dipelajari dari diskusi dengan profesi lain, baik dokter ataupun bukan, karena kita akan mendapatkan sudut pandang berbeda sehingga program terapi untuk pasien akan lebih komprehensif. Sejatinya seorang dokter tidak akan pernah berhenti belajar, karena manusia adalah makhluk kompleks, dan ilmu akan selalu berkembang.
Referensi:
https://aapmr.org/about-physiatry/about-physical-medicine-rehabilitation
PERDOSRI White Book Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Cetakan I, Mei 2012
Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Pengapuran Tulang by dr. Febrian